Sabtu, 06 Agustus 2011

Uang kertas...oh uang kertas...

Saya mempunyai kebiasaan untuk menukarkan uang bulanan saya dalam pecahan yang kecil. Setiap awal bulan saya hitung dulu keperluan saya untuk makan, transpor, ini dan itu...berapa totalnya lalu saya hitung dalam bentuk pecahan. Saya ambil dari rekening payroll sejumlah itu, lalu saya tukarkan di banking (salah satu enaknya bekerja di bank, dan satu gedung dengan cabang).

Menukar uang di cabang, jika tidak mendekati hari raya Fitri berapapun jumlahnya pasti diberikan, walaupun uangnya tidak baru. Nah, "tidak baru" inilah yang akan saya ceritakan... Kalau saya sedang beruntung, saya akan mendapatkan pecahan kecil yang mulus dan masih berbau uang baru, fresh from the oven, kinyis-kinyis, menyenangkan untuk dipandang dan dipegang. Saya berasa punya pabrik uang atau pohon uang... Itu yang saya bayangkan ketika kecil dulu : kalau bekerja di bank, uang saya pasti selalu baru. Hanya kalau sedang buntung, hmmmmph...saya akan mendapatkan uang yang sudah beredar ke mana-mana. Untungnya bank tempat saya bekerja masih baik..uang yang ditukarkan ke nasabah tidak jelek-jelek amat, dan biasanya masih dicampur dengan yang baru. Jadi saya lumayan terhibur karena tidak harus memegang uang yang sudah "busuk" :D

Uang yang "busuk" ini membuat saya bertanya : kenapa uang negara kita tidak bisa seperti uang negara lain? Mungkin ada beberapa negara yang uangnya beredar dalam kondisi "busuk" juga, tapi sampai lecek dan dekil banget nggak ya? Perlukah diworo-woro cara menyimpan uang kertas yang baik dan benar, supaya uang itu tidak lecek? Saya pribadi berusaha menyimpan uang kertas yang saya dapat dengan baik. Baik dalam arti tidak dalam keadaan terlipat (pakai dompet yang panjang), tidak disteples, dan tentunya tidak dikuwel-kuwel.

Ataukah kualitas kertas uang Indonesia yang kurang bagus? Kalau menurut teman saya yang bekerja di pabrik kertas, kualitas uang kertas Indonesia sama dengan negara lain. Hanya memang kesadaran orang Indonesia untuk menghargai dan menjaga uang kertas dalam peredaran masih kuraaaang sekali...
Hmmmm...betul juga sih...coba perhatikan. Ibu-ibu yang ke pasar, membawa dompetnya bukan dompet yang panjang, melainkan dompet kecil dari toko emas dengan alasan biar ngga ribeed...tapiiiiiii uangnya dikuwel-kuwel dalam dompet tersebut :(.

Lalu kebiasaan memberi angpao dalam amplop kecil...otomatis membuat uang yang akan dimasukkan ke dalam amplop kecil itu dilipat dulu :(. Yang ini, saya belum bisa menghindarinya. Kalaupun uangnya saya masukkan dalam amplop besar dan tidak terlipat, ketika akan dimasukkan ke kotak pun pasti akan saya lipat dulu supaya bisa masuk kotaknya (kecuali jika diterima langsung oleh penerima tamu, ngga perlu dilipat doong)...*keluh*. Ada juga yang narsis sekali...menulis no telepon rumah atau selular di uang itu. Heeeeei...apa ngga punya buku noteskah? Sampai tulis di kertas uang T_T.

Sedih melihatnya tapi itulah kenyataan yang ada. Kalau orang kantoran mungkin sudah banyak yang sadar dan menghargai keberadaan uang rupiah kertas. Jadi biasanya uang yang berasal darinya tidak dekil-dekil banget yaa... Bagaimanapun uang itu adalah alat pembayaran. Sedekil apapun, selama tidak robek pasti diterima. Karenanya, kalau saya dapat uang yang buluuk banget, tidak saya simpan di dompet panjang melainkan saya simpan di dompet kecil koin (toh sudah dekil dan terlipat-lipat...yo sisan wae...), dan saya gunakan untuk membayar angkot. Kalau sudah robek, selama benang plastik tidak hilang...saya selotip dulu. Kalau sudah lecek bin dekil bin kumal bin bau busuk bin robek...ya sudah, saya relakan saja...saya juga tidak tega memberi uang tersebut untuk membayar jasa orang...:)

Jadi temans, hargailah uang kertas yang ada walau nilainya paling kecil... Yang disayang-sayang jangan pecahan 100 ribu aja yaaa :)...