Jumat, 24 Mei 2013

[PERSONAL] Jika tak kunjung dianugerahi si buah hati...bagian 1.

Halo temans ^____^

Dari tadi malam sebenarnya saya pengen posting cerita ini, tapi kok mata sudah nggak kuat melek jadi akhirnya saya ceritakan pagi ini, tentu saja setelah saya minta izin ke suami untuk sharing cerita ini ke temans semua :).  Akan jadi cerita yang agak panjang dan nggak pakai gambar, jadi sila cari cemilan dan minuman ringan untuk teman membaca... Uhuk...

Okay, here we go...

Dulu saya selalu berpikir, setiap pasangan yang sudah menikah pasti akan dianugerahi anak oleh yang Maha Kuasa.  Kalaupun tidak punya anak...saya berpikir, oooh...mungkin memang itu pilihan mereka.  Setelah banyak membaca dan banyak melihat keadaan sekitar (keluarga dekat/jauh dan teman sekantor), saya kembali berpikir....mungkin pasangan yang belum atau tidak mempunyai anak bukannya memilih untuk tidak punya anak, tapi ada faktor lain yang mempengaruhi.  Mungkin saja sang istri mengalami infertilitas, atau sang suami yang mengalami infertilitas, atau kedua-duanya...

Walaupun saya membaca beberapa tulisan tentang infertilitas, saya sama sekali tidak menduga bahwa saya juga akan mengalami hal tersebut.  Setelah menikah, harapan saya tentu saja adalah saya dan suami segera dianugerahi anak, mengingat usia kami berdua yang sudah kepala 3  (eeeh, jadi ketahuan umur saya.  Haiiissh, saya ini 17UP! kok...).  Tunggu punya tunggu, bulan pertama...haid saya telat datangnya.  Hati sudah agak senang, beli dan segera pakai test pack, hasilnya....hanya 1 strip.  Kecewa, tapi masih berharap karena kadang hasil test pack tidak akurat.  Tapi seminggu kemudian, haid pun datang :(.

Bulan kedua haid tetap datang.  Bulan ketiga, haid telat seminggu...beli test pack lagi, tapi lagi-lagi hanya terpampang 1 strip saja.  Bulan keempat pun demikian.  Ya sudahlah, berhenti dulu beli test pack.  Sampai bulan keenam saya menikah, saya terus dikunjungi tamu bulanan.  Hati sedih bukan kepalang, ada apa ini ya.... Hingga akhirnya ibu saya mendesak agar saya melakukan kunjungan ke dokter SpOG.  Sebenarnya dari dulu sebelum menikah, ibu sudah minta saya periksa ke dokter SpOG, karena kalau haid saya sering mengeluh perut saya sakit, tapi saya selalu menundanya... *bandeeel*

Ke dokter SpOG mana yang harus saya kunjungi...?

Ibu saya pun mencari-cari informasi dari teman-temannya, kira-kira dokter SpOG mana yang bagus untuk pemeriksaan kandungan dan program hamil.   Dari rekomendasi teman ibu, kami memutuskan untuk periksa ke RSIA Budhi Jaya Tebet, dengan dokter SpOG : Prof. DR. Dr. H. Ichramsjah A. Rachman, SpOG(K).  Jangan tanya saya singkatannya apa saja itu ya...:D.  Sesuai rekomendasi, banyak pasangan yang menjalani program hamil di RSIA ini, dan ditangani langsung oleh pak Prof.

Bulan Januari 2012, kami konsul pertama ke Prof.  Ditanya, sudah berapa lama menikah?  7 bulan.  Idealnya, 3 bulan sudah harus langsung hamil kata pak Prof.  Kalau belum hamil juga, pasti ada apa-apanya.  Mari kita lihat...  Dengan menggunakan alat USG tentunya, tapi ternyata di daerah rahim saya banyak "kabut"nya, istilah pak Prof.  "Kabut" itu harus dibersihkan dulu.  Saya pun menjalani pemanasan (diathermi) di daerah sekitar rahim selama 10 hari berturut-turut, di klinik fisioterapi tentunya. 

Selesai proses pemanasan, saya kembali ke pak Prof untuk konsul.  Prof menyatakan sudah bersih dan baru bisa dilihat, ada apa sebenarnya dengan rahim saya.  Hasilnya mengejutkan, karena letak mulut rahim saya arahnya membelakangi jalan sperma menuju saluran indung telur, juga ditemukan adanya kista endometriosis, dan kalau ingin hamil...kista itu harus diangkat.  Haeeee, artinya saya harus menjalani bedah laparoskopi untuk menormalkan arah mulut rahim dan mengangkat kista.

Paralel dengan pemeriksaan di atas, saya juga harus cek darah untuk skrining ada atau tidaknya virus Rubella dan toxoplasma, juga pemeriksaan kecocokan darah dengan sperma suami.  Pusing karena harus menjalani beberapa pemeriksaan sekaligus, saya dan suami memutuskan skrining darah untuk virus Rubella dan toxoplasma dulu.  Hasilnya saya dan suami harus minum obat penghilang virus Rubella, dan negatif untuk toxoplasmanya.

Bulan April 2012, saya memutuskan untuk menjalani bedah laparoskopi.  Butuh waktu yang lumayan lama untuk memutuskan hal itu.  Pertama, mengumpulkan biaya.  Kedua, mengumpulkan keberanian untuk berbaring di atas meja bedah.  Saya pun menjalani pemeriksaan dalam sebelum bedah.  Tanggal 20 April sore saya masuk rumah sakit, tanggal 21 April subuh pun saya menjalani bedah laparoskopi.  Dibius???  Tentu saja... Hal terakhir yang saya ingat di ruang bedah adalah dokter anestesi berbisik di telinga saya, "Terus berdoa ya bu...".   Setelah itu, saya jatuh dalam tidur yang amat sangat dalam, tidak mendengar apa-apa...sampai ada dokter yang menepuk-nepuk pipi saya, "Bu Dina...bu Dina...".  Tapi rasanya kok, mata ini sulit dibuka yaaa....

Bangun-bangun, ternyata saya sudah ada di ruang pemulihan.  Yang menunggu di samping tempat tidur adalah suami saya.  Kalau mengingat saat itu, saya menangis (bahkan mengetik ini pun sambil mbrebes mili :(....).  Menurut saya, dengan dibius dan ada di atas meja bedah,  saya tidak jauh dari yang namanya kematian.  Apa saja bisa terjadi di ruang bedah.  Setelahnya ibu dan adik saya pun bergantian menunggui saya.  Baru dipindah ke ruang perawatan pada sore harinya.  Yang namanya dirawat di rumah sakit nggak ada yang enak...nggak betah, dan pengin cepat pulang.  Karena saya menjalani bedah di bagian perut, saya baru boleh pulang kalau sudah buang angin dan buang air besar secara alami.

Hahaha...ternyata bisa buang air besar secara alami setelah operasi itu, menghasilkan kelegaan yang luar biasaaa.  Saya pulang ke rumah hari Selasa tgl 24 April 2012.   Setelah itu beberapa kali kontrol ke Prof, dan harus disuntik Tapros 2 bulan berturut-turut.

Sembari menjalani 2 bulan itu, saya dan suami melakukan tes kecocokan darah dengan sperma.  Lagi-lagi hasilnya membuat saya shock dan amat sangat kecewa dengan diri saya sendiri. Ternyata, darah saya selalu menolak sperma suami, dengan kata lain antibodi yang dibentuk darah untuk kekebalan terhadap benda asing yang masuk amat sangat tinggi.  Tes dilakukan di lab Andrologi, dengan dokter spesialis andrologi sebagai penanggung jawabnya, yaitu dr H. Indra G. Mansur, DHES, SpAnd.

Balik konsul ke Prof Ichramsjah, candaan pak Prof adalah saya terlalu cinta ke suami saya, sampai-sampai sperma suami ditolak :D.  Tapi saya tidak boleh kecil hati karena ada terapinya.  Saya pun menjalani terapi yang namanya PLI (paternal leukocyte immunization), terjemahannya : imunisasi leukosit suami.  Jadi darah suami diambil, di-treatment sedemikian rupa, sehingga sel darah putih (leukocyte) bisa dipisahkan, lalu disuntikkan ke dalam darah saya.

Kenapa pakai terapi ini?

Di dalam sel darah putih terdapat DNA yang susunannya sama dengan DNA yang ada di sperma.  Dengan disuntikkan sel darah putih, diharapkan darah saya dapat membaca DNA sel darah putih suami, dan mengenali DNA yang sama di sperma suami, sehingga tidak ada lagi reaksi penolakan dan penggumpalan.  Saya harus menjalani terapi ini tiap 3 minggu sekali, sampai mencapai hasil  yang diinginkan dr Indra dan pak Prof.  Hohoho...berapa kali suntik?  Total 10 kali suntik, dan sampai sekarang masih menjalani PLI maintenance setiap 2 bulan sekali.

Selama terapi 10x suntik itu, setiap berhubungan tidak boleh ada sperma yang masuk ke tubuh saya.  Suami harus memakai kondom.  Baru setelah mencapai hasil yang diinginkan, saya dan suami diizinkan oleh dokter untuk berhubungan tanpa kondom.  Karena ini sifatnya seperti alergi,  maka saya pun harus menghindari beberapa jenis makanan dan non makanan yang memicu alergi.  Dari hasil tes lab, saya harus menghindari makanan : udang, kepiting, coklat, dan kacang tanah.  Juga menghindari non makanan : kecoak, tepung maizena mentah, dan tepung sari rumput.   Sampai kapan?  Sampai saya berhasil hamil dan melahirkan anak saya dengan selamat.  Wheeeew....

Lalu, sekarang hasilnya bagaimana?

Sekarang ini, saya dan suami masih terus berusaha agar saya bisa hamil.  Kata dokter, harus tetap berdoa, semangat, pantang menyerah, dan terus berusaha.  Meskipun kadang niiih, dalam hati kecil saya....saya iri dengan ibu-ibu yang mudah hamil, dan saya takut kalau saya tidak bisa punya anak sama sekali.   Berpikiran negatif memang tidak bagus, berulang kali suami saya mengatakan hal ini kepada saya.  Ujian untuk saya adalah kesabaran, kesabaran, dan kesabaran.  Hiiiks, terimakasih Alloh, sudah memberi saya suami yang pengertian dan sabar terhadap saya...

Apakah banyak perempuan yang mengalami infertilitas?

Banyak.  Ya, ini jadi penyemangat sendiri untuk saya.  Ooooo...banyak pasangan yang juga belum dianugerahi keturunan. bahkan ada yang sudah menikah lebih dari 2 tahun (artinya lebih dari saya dan suami).  Ada temannya, hibur hati kecil saya. 

Inti ceritanya?

Hehehe...untuk temans yang dengan mudah hamil, baru sebulan menikah sudah langsung hamil, selamat ya.... Jangan sia-siakan rahmat dan anugerah dari Alloh SWT.  Untuk temans yang mengalami hal seperti saya, jangan takut, segan atau malu untuk berkunjung ke dokter.  Baik suami dan istri, harus sama-sama konsul ke dokter.  Dalam hal berketurunan, sekarang ini bukan masanya lagi untuk menyalahkan istri yang tidak kunjung hamil.  Keduanya harus diperiksa semua, siapa yang mengalami masalah, dan pasti masih bisa diselesaikan :).

Yuhuuuuu, tetap semangat ya Dina Apriyanti dan Bayu Kanigoro...menanti hadirnya junior-junior penerus keluarga kami, penerus agama kami... Bismillaaah...:)


Thank you for reading and visiting my blog.




7 komentar:

  1. Hiks... jd ikut sedih, mba. Saya juga udah setaun lebih nikah tp belum dikaruniai anak. Tapi saya ga punya keberanian buat ke dokter kayak mba.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo mbak Tiara...^^
      Ayo mbak, kumpulkan keberanian. Lebih cepat konsul lebih baik. Memang, anak adalah anugerah dariNya, tapi sebagai manusia tidak ada salahnya kita berusaha.
      Semoga kita semua lekas diberi buah hati oleh Yang Maha Kuasa ya.
      Tetap semangat, usaha, dan berdoa ya mbak...*peluuukdarijauh*

      Hapus
    2. sempet ke dokter, tapi mau periksa lbh jauh lha kok rasanya horor. ^^a

      Hapus
    3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    4. Hihihi...
      Pelan-pelan dihilangkan rasa horornya. Sudah coba cara tradisional, pijat di sekitar rahim? Saya akhirnya 3 bulan terakhir ini coba, tiap kali haid saya pijat ke ibu pijat dekat rumah orangtua. Belum berhasil sik, tetep usaha...:)

      Hapus
  2. Hai mom dina ..
    gimana mom skrg ? Apakah junior nya sudah ada ditengah2 keluarga ??

    BalasHapus
  3. Sya sdh 7 thn blm di ksh keturunan

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkunjung dan membaca cerita ini.
Sila berkomentar tentang tulisan saya di sini. Saya lebih menghargai jika komentar yang diberikan sesuai dengan isi posting blog dan tidak ANONIM. Kalau ada alamat blog, cantumkan saja nanti saya main ke sana :)