Helllooo...(^o^)/
Sebelum pikiran saya melantur ke mana-mana, izinkan saya bernostalgila sebentar. Yang namanya bullying atau intimidasi atau penindasan, saya merasa sudah mengalaminya sejak saya masih sekolah TK. Yang ada di ingatan saya, dulu ada 2 orang anak laki-laki yang suka mengganggu saya. Mereka suka menyembunyikan bangku kayu saya, atau merebut mainan di kelas ketika mainan tersebut sedang saya mainkan. Hasilnya, adalah saya sempat tidak mau masuk kelas. Saya memilih bermain di halaman. Untungnya...hal tersebut tidak berlangsung lama, cuma sehari. Cepat ketahuan sama ibu guru, hanya saya nggak tahu apa yang ibu guru katakan kepada mereka karena setelah itu mereka berdua tidak lagi mengganggu saya.
Beranjak ke masa sekolah dasar. Masa-masa awal kelas 1 saya belum memakai kacamata. Baru ketahuan harus pakai kacamata karena ada pemeriksaan mata, dan tiba-tiba minus mata saya sudah lumayan banyak waktu itu. Menjadi satu-satunya anak yang pakai kacamata di kelas, waktu itu agak berat. Banyak yang memanggil saya dengan panggilan : mata empat, mata kaca, entah apa lagi saya lupa. Sedih, tapi ya karena saya kesulitan untuk melihat dengan jelas tanpa kacamata, tentu saja kacamata itu saya pakai terus. Hahaha, pastinya waktu itu saya nggak tahu, kalau yang saya alami waktu TK dan kelas 1 SD adalah salah satu bentuk bullying (intimidasi, penindasan).
Naik ke kelas 4, sudah mulai kenal dengan yang namanya zodiak. Kenal karena masa itu sering tukar-tukaran buku diary sesama teman perempuan, yang isinya semacam biodata gitu deh. Nama, tanggal lahir, zodiak (istilah waktu itu adalah "bintang"), cita-cita, artis favorit, kata mutiara, pokoknya semua hal tentang diri kita yang kalau saya ingat-ingat kembali, cukup memalukan XD. Ajaibnya, buku diary tersebut kadang beredar di antara anak laki-laki juga. Jadi mereka tahu kalau bintang saya adalah Taurus, dan sejak itu saya punya panggilan baru : DinaTaurus...yang lama-lama berubah menjadi DinaSaurus, lalu berubah lagi menjadi DinoSaurus (.____.).
Kelas 6 SD, dagu saya mulai terlihat panjang, lebih panjang dari teman-teman yang lain. Kata dokter gigi saya, dagu yang panjang ini adalah keturunan. Memang sih, kakek dari bapak seingat saya mempunyai dagu yang panjang. Paklik dan beberapa sepupu juga mewarisi bentuk dagu yang sama. Gara-gara dagu panjang ini, akhirnya saya punya panggilan tambahan...si Sirik. Kalau ada yang bertanya siapa si Sirik, hmmm...si Sirik adalah tokoh jahat di komik Juwita dan Sirik yang muncul di majalah Bobo (sekarang masih ada nggak ya?). Juwita digambarkan sebagai tukang sihir yang cantik, sementara si Sirik digambarkan sebagai tukang sihir yang jahat dengan dagu yang panjang. That's why they called me Sirik.
Sedih? Tentu saja. Siapa yang nggak sedih dengan panggilan itu. Yang namanya anak perempuan, pastilah pengin dihubungkan dengan yang cantik atau yang indah. Mana ada yang mau dipanggil dengan nama tokoh jahat, yang fisiknya digambarkan jelek atau buruk rupa. Kenapa nggak ada yang panggil saya Juwita? Kalau diingat kembali, saya juga ada memanggil nama teman dengan nama julukan. Yah, bisa dibilang egois dan nggak mau kalah sik...elo panggil gue dengan nama Sirik, kenapa gue nggak boleh panggil elo dengan nama (saya lupa). Lagi-lagi saya belum mengerti, apa yang saya lakukan dan apa yang teman-teman saya lakukan adalah termasuk bullying.
Masuk SMP, syukurlah nggak ada yang panggil saya dengan panggilan di atas. Ada sik, beberapa anak yang tetap panggil saya dengan panggilan mata empat, itu juga teman SD yang kebetulan masuk di SMP yang sama. Teman selingkaran saya baik-baik. Mungkin karena sudah kenal dari SD, sudah kenyang menggoda saya dengan panggilan aneh-aneh itu. Hahaha...atau mungkin karena mereka sering meminjam buku catatan atau mencontek PR, daripada nggak dipinjamin lebih baik diam dan tidak menggoda saya.
Masa SMA juga saya lewati dengan tenang. Nggak ada yang namanya berselisih paham dengan kakak kelas atau teman seangkatan. Cuma sekali ditegor sama anak kelas 3, karena nggak sengaja ngelewatin depan kelas mereka untuk menuju ke kantin. Semacam jalan pintas gitu, ternyata mereka nggak suka dan melarang anak kelas 1 (saya) lewat situ. Emang dasarnya saya nggak suka cari masalah dengan orang lain, waktu itu saya hanya bilang "Iya kak, maaf." Ada yang digencet karena pakai rok di atas lutut atau karena pacaran dengan kakak kelas yang cowok? Hohoho, tentu saja ada walaupun saya nggak kenal dekat karena terlalu banyak murid seangkatan di sekolah saya. Yah, bisa dibilang saya lolos dari hal-hal seperti itu sik XD. Makanya saya nggak punya pacar waktu SMA. Halaaaah...
Apa yang saya alami mulai dari TK sampai SMA, mungkin cuma sebagian kecil. Ibaratnya, bullying itu adalah gunung es yang ada di laut, cuma puncaknya saja yang terlihat di permukaan. Masih banyak kasus bullying yang sehari-hari bisa dialami dan dilakukan, baik oleh saya ataupun orang lain. Sampai sekarang, terus terang saya masih membully suami saya. Lebih tepatnya karena saya gemas, saya sering memanggilnya dengan "Nduuuut". Padahal itu juga merupakan suatu bentuk bullying. Mencoba menahan diri untuk tidak memanggil dengan panggilan itu, but he's so adorable...then i can't stand for not calling him that. Ish, mencari pembenaran.
Itu baru bullying yang dilakukan oleh orang yang kita kenal, atau orang yang ada di sekitar kita sehari-harinya. Bagaimana dengan orang yang tidak kita kenal, apakah ada kemungkinan kita dibully oleh orang-orang itu? Yep, tentu saja ada dan sekarang menjadi lebih mudah dengan adanya gadget dan koneksi internet. Hal itu akan saya ceritakan di bagian kedua postingan ini ya. Kalau di sini nanti jadi panjang, nanti teman pembaca bosan... Wait for it yaaa~
Have a great day~
Salam,
Dina
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung dan membaca cerita ini.
Sila berkomentar tentang tulisan saya di sini. Saya lebih menghargai jika komentar yang diberikan sesuai dengan isi posting blog dan tidak ANONIM. Kalau ada alamat blog, cantumkan saja nanti saya main ke sana :)